Wednesday, December 31, 2014

Kota-Kota di Indonesia Menuju atau Kian Menjauhi Kota Yang Berkelanjutan (Sustainable City) ?



Prof. Putu Alit S - Udayana


Berdasarkan data Badan Pusat Statistik RI, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia Tahun 2013 sebanyak 104.118.969 unit yang didominasi oleh sepeda motor sebanyak 84.732.652 unit (atau 81,38%). Tingkat pertumbuhan kendaraan bermotor di Indonesia selama kurun waktu 5 tahun terakhir sebesar 11% per tahun. Rasio kepemilikan kendaraan bermotor per rumah tangga di daerah perkotaan mencapai 1:4 (satu rumah tangga rata-rata memiliki empat kendaraan). Peningkatan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor tentunya diikuti dengan peningkatan konsumsi energy beserta output negatifnya yaitu polusi.

Sebagaimana diberitakan dalam Tribunnews (13/9/2014) disebutkan bahwa menurut Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Surono, ketergantungan energi fosil masih didominasi oleh kebutuhan minyak yang mencapai 41,8 persen, disusul batu bara 29 persen dan gas 23 persen. Kebutuhan yang sangat besar ini ternyata tidak bisa ditopang oleh cadangan energi di Indonesia yang kian menipis. Cadangan minyak misalnya, hanya cukup untuk 23 tahun lagi. Sementara cadangan gas masih cukup sampai 50 tahun ke depan dan batu bara cukup untuk 80 tahun mendatang.

Penggunaan energy kita cukup tinggi dan ratusan triliun dana menguap karena dipakai sebagai subsidi BBM. APBN-P 2014 menetapkan belanja subsidi BBM Rp 246,5triliun atau 13,13 persen dari total belanja Negara sebesar Rp 1.876,9 triliun.

Masyarakat perkotaan kian tergantung pada penggunaan kendaraan pribadi untuk mendukung mobilitasnya yang oleh Prof. Newman and Kenworthy, disebutkan sebagai kota yang menuju menjadi Automobile City. Pada kota seperti ini, penggunaan kendaraan bermotor tidak lagi merupakan “Pilihan” tetapi “Kebutuhan”.

Terjadi desentralisasi di wilayah perkotaan membentuk permukiman dengan kepadatan rendah di daerah pinggiran kota. Kota kian meluas dari Kota Kecil berkembang menjadi Kota Besar, lalu menjadi Kota Metropolitan dan seterusnya. Banyak kota tidak siap untuk berkembang dan proses aglomerasi terjadi secara alamiah dengan wilayah di sekitarnya, sehingga mulai terbentuk kota-kota Metropolitan baru. Sekat-sekat otonomi daerah membatasi perkembangan sarana dan prasarana transportasi. Setiap daerah lebih mementingkan tujuan ekonomi secara individual dan melupakan esensi dari konsep pembangunan berkelanjutan. Pembangunan di setiap daerah selalu diorientasikan untuk meningkatkan perekonomian secepatnya. Investasi secara membabibuta dilegalkan untuk atas nama peningkatan ekonomi masyarakat. Degradasi lingkungan dan sosial-budaya terjadi secara perlahan seiring dengan pesatnya peningkatan perekonomian. Daerah perkotaan berkembang secara alamiah dengan struktur kota yang dituju tidak jelas. Sarana dan prasarana transportasi dirancang dan dibangun sangat terbatas dan tidak mampu mengikuti perkembangan demand yang pesat.

Sebuah Kota Yang Berkelanjutan (Sustainable City) harus secara konstan dan konsisten menggabungkan rancangan fisik dan lingkungannya. Biaya lingkungan adalah real cost dimana degradasi lingkungan dalam bentuk penurunan kualitas udara, kualitas kehidupan kota, dan landscapenya akan menyebabkan suatu kota menjadi tempat yang tidak menarik untuk ditempati ataupun dikunjungi.

Sebenarnya kota-kota di dunia menyadari kebutuhan untuk mengikuti agenda-agenda pembangunan berkelanjutan. Siapakah yang akan melakukan pekerjaan untuk mencapai Kota Yang Berkelanjutan tersebut? Beberapa target indicator bagi Kota yang Berkelanjutan diantaranya: Penurunan penggunaan energi per kapita, penurunan total polusi udara per kapita (terutamagreen house gases), penurunan tingkat kebisingan lalulintas (jumlah rumah tangga yang terkena dampak), penurunan penggunaan air per kapita, peningkatan areal hijau, peningkatan jumlah lokasi zona yang terintegrasi dengan angkutan umum (transit-oriented location), penurunan penggunaan kendaraan bermotor per kapita, peningkatan penggunaan angkutan umum, pejalan kaki dan bersepeda, penurunan jumlah kecelakaan per 1000 penduduk, dan lainnya.

Menurut Prof Newman and Kenworthy, implementasi dari konsep Sustainability sebenarnya merupakan tugas yang menantang sekaligus juga mengkhawatirkan. Sebagai tugas yang menantang karena konsep tersebut memberikan kita tugas yang jelas bagaimana seharusnya kita mengelola kota kita. Sebagai tugas yang mengkhawatirkan karena terjadi atau tidaknya perubahan sangat tergantung pada kita sebagai generasi sekarang untuk mampu membalikkan kecenderungan kota untuk menuju kearah Kota yang Berkelanjutan (Sustainable City).

Success Story dari implementasi BRT di Bogota dan Curitiba tidak terlepas dari peranan pimpinan daerahnya. Seorang Pimpinan Daerah harus paham kondisi kotanya saat ini dan paham ke arah mana perubahan yang akan dilakukan. Kota baru dikatakan berubah ke arah yang lebih baik apabila dapat memenuhi kriteria indicator Kota yang Berkelanjutan, dimana untuk pembangunan di bidang transportasi mengikuti konsep Environmentally Sustainable Transportation (EST).Konsep EST telah lama diwacanakan yaitu antara lain pada Kyoto Protocol (United Nations, 1998). OECD (1996) bahkan telah menetapkan kriteria indicator pencapaian EST untuk target tahun 2030. Dalam Perpres No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK), disebutkan bahwa Indonesia memiliki komitmen untuk mengurangi emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020. Khusus untuk sector transportasi, direncanakan akan mengurangi sebesar 0,038 Giga Ton emisi CO2.

Pembangunan transportasi di perkotaan ditandai dengan terjadinya desentralisasi yang diikuti kian tergantungnya pada penggunaan kendaraan bermotor, pembangunan jalan secara terus menerus, dan kian menurunnya penggunaan angkutan umum. Semua proses ini telah mengarahkan kota menuju ke kota yang tidak berkelanjutan (Un-Sustainabe City).

Sejak mulai ramai diwacanakan di tahun 1990-an, bila kita lihat perkembangan kota-kota di Indonesia secara umum, maka kita masih jauh dari pencapaian target-target EST. Kota-kota di Indonesia berkembang kearah sebaliknya yaitu Un-Sustainable City. Sebagai contoh sederhana adalah kian tingginya konsumsi energy kita akibat kian tingginya tingkat ketergantungan pada penggunaan kendaraan bermotor pribadi. Kita juga tahu bahwa secara teoritis pengurangan konsumsi energy dapat dilakukan melalui demand management diantaranya dengan memindahkan sebagian pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum. Kita juga semua sudah tahu bahwa kondisi angkutan umum di perkotaan di Indonesia sejak tahun 2000-an sebagian besar dalam kondisi kian terpuruk. Yang kita belum rasakan adalah langkah nyata dari pemerintah untuk memperbaikinya sampai sekarang. Bahkan UU No. 22 Tahun 2009 pun telah menyiratkan bahwa pemerintah bertanggungjawab terhadap ketersediaan angkutan umum. Perhatian pemerintah sudah mulai ada, namun masih sangat kecil dirasakan terutama di daerah. Yang diperlukan adalah langkah cepat dan radikal (tentunya dengan konsekuensi kebutuhan anggaran yang besar) untuk melakukan perubahan.




No comments:

Post a Comment