Thursday, May 16, 2013

Rabu, 15 Mei 2013 | 11:08 WIB

BANAR FIL ARDHI Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar.

JAKARTA, KOMPAS.com - Pembengkakan anggaran subsidi bahan bakar minyak berikut kompensasi kebijakan kenaikan harga BBM tahun ini memerlukan tambahan utang Rp 50 triliun - Rp 60 triliun. Dengan demikian, total utang pemerintah mencapai Rp 213 triliun. 

”Harus disadari dan dipahami bahwa selama ini subsidi bahan bakar minyak (BBM) dibiayai utang. Apakah betul kita membebani utang untuk saat ini dan masa depan untuk suatu pengeluaran yang pada hakikatnya adalah persoalan tersendiri,” kata Wakil Menteri Keuangan II Mahendra Siregar menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta, Selasa (14/5/2013). 

Penarikan utang oleh pemerintah, Mahendra mengingatkan, selain menimbulkan kewajiban pembayaran pokok berikut bunga, memiliki ambang batas. Utang yang terlalu banyak menyebabkan bunga dipatok tinggi karena kreditor menganggap pemerintah kurang disiplin mengendalikan anggaran negara. 

Rencana pemerintah menaikkan harga solar menjadi Rp 5.500 per liter dan harga Premium menjadi Rp 6.500 per liter tidak cukup menghemat anggaran. Sifatnya hanya mengerem pembengkakan subsidi BBM.
Jika harga solar ataupun Premium tetap Rp 4.500 per liter, sedangkan harga keekonomiannya adalah Rp 10.000 per liter, maka subsidi BBM akan menggelembung menjadi Rp 297,7 triliun atau melonjak 54 persen dari pagu awal Rp 193,8 triliun. 

Implikasinya, defisit anggaran akan melebar, dari target semula Rp 153,3 triliun atau 1,65 persen dari produk domestik bruto (PDB) menjadi Rp 353,6 triliun atau 3,83 persen dari PDB. Sementara ambang batas maksimal adalah 3 persen. 

Mahendra optimistis, kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi antara lain akan menguatkan nilai tukar rupiah. Saat ini nilai tukar rupiah melemah. Rata-rata Rp 9.600-Rp 9.700 per dollar AS. Padahal asumsi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013 adalah Rp 9.300. 

Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menyatakan, kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi akan menimbulkan tambahan inflasi 1,5-1,6 persen. Dengan demikian, asumsi inflasi yang awalnya ditargetkan 4,9 persen akan direvisi menjadi 6,9-7,2 persen.
Antisipasi pemerintah untuk mengendalikan inflasi, kata Hatta, pertama-tama lewat pengendalian inflasi pada bahan pangan. Apalagi pada Juli-Agustus bertepatan dengan bulan puasa dan Lebaran sehingga inflasi akibat harga pangan pasti melonjak. 

Pemerintah, ujar Hatta, akan mengintervensi pasar untuk daging sapi. Harga beras bisa dijamin mengingat stok beras Bulog adalah 2,69 juta ton.
”Cabe kadang-kadang menjelang Lebaran dan puasa naik, tapi yang lain harus kita stabilkan terutama ayam, telur, daging, dan beras. Tujuannya agar nanti pada saat dilakukan penyesuaian harga BBM, inflasi tambahannya 1,5-1,6 persen,” kata Hatta.
Pemerintah, menurut Hatta, juga akan mengoreksi pertumbuhan ekonomi dari target awal 6,8 persen menjadi 6,2-6,4 persen. Sementara defisit dipatok di bawah 2,5 persen dari PDB. 

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa (14/5), saat membuka rapat kabinet terbatas di Kantor Presiden, menekankan pentingnya APBN-P 2013, guna mengatasi masalah perekonomian saat ini. Keberadaan APBN-P 2013 juga penting bagi pencapaian target-target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2014. 

”APBN Perubahan (2013) sangat penting karena akan mengatasi permasalahan ekonomi tahun ini, dan sekaligus upaya untuk menjaga pertumbuhan, mengendalikan inflasi, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi kemiskinan. Namun, tahun 2014 adalah tahun terakhir masa bakti pemerintahan ini. Mari pastikan sasaran RPJMN lima tahunan akan diprioritaskan pencapaiannya melalui RKP (Rencana Kerja Pemerintah) 2014,” kata Presiden. (WHY/LAS/FAJ)
 
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
Erlangga Djumena

No comments:

Post a Comment