Sunday, December 30, 2012

Catatan Akhir Tahun 2012 Dewan Pimpinan Pusat ORGANDA


Jangan Sepelekan Potensi Angkutan Umum….



Sejak fajar pertama di tahun 2012 merekah, telah dimulainya perdebatan berkepanjangan terkait kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Pemerintah memang sempat mewacanakan kenaikan harga BBM bersubsidi demi menyelamatkan keuangan negara. 

            Organda pun berjibaku. Mengatur strategi, angkat suara, dan menyumbangkan saran untuk keberlangsungan angkutan umum. Niat utamanya, tak sekedar ingin menyelamatkan bisnis transportasi. Tetapi, agar mobilitas barang dan orang tetap berlangsung sekalipun mereka tidak memiliki akses terhadap kendaraan pribadi.
Perjuangan Organda juga memastikan kelancaran mobilitas sebagai esensi dasar kehidupan. Orang boleh berkata apa pun soal angkutan umum. Tetapi di darat, lebih dari 90 persen pergerakan difasilitasi oleh armada yang bernaung dibawah Organda.
Meski harus digarisbawahi, kerja keras Organda pertama-tama fokus ditujukan bagi angkutan perkotaan atau urban transport, sebab angkutan perkotaan mendapatkan tantangan keras dari kendaraan roda dua sepeda motor, dengan berbagai kemudahaannya. Sedangkan perkotaan sudah mengalami kemacetan yang semakin memburuk dan sangat merugikan ekonomi negara serta membuat penderitaan bagi semua orang yang hidup, bekerja dan beraktifitas di urban area. Angkutan umum barang juga mendapatkan perhatian Organda karena peraturan yang ada masih belum dipersiapkan secara detail, dibandingkan dengan angkutan penumpang, padahal angkutan umum barang berkembang pesat seiring dengan meningkatnya kebutuhan barang untuk masyarakat. 
            Ditegaskan kembali, perjuangan Organda untuk menjaga kelangsungan hidup angkutan umum juga atas dasar turut berkontribusi menghemat pengeluaran negara.  Dana yang tersedia lebih baik dimanfaatkan untuk membangun lebih banyak infrastruktur terutama di Indonesia bagian timur.
            Setelah perdebatan demi perdebatan, keluarlah angka Rp 5 triliun bagi revitalisasi 530.000 angkutan umum. Dijanjikan subsidi pembelian ban, dan suku cadang lain, supaya kondisi angkutan umum membaik. Mekanismenya telah disusun bersama-sama dengan pemerintah.
            Namun ternyata, BBM bersubsidi tidak jadi naik per 1 April 2012. Kompensasi untuk revitalisasi angkutan umum dibatalkan! Organda menerima fakta yang merupakan hasil dari dinamika politik.
Akan tetapi, apakah dipahami bahwa telah terjadi kenaikan harga ban antara 15-35 persen; begitu pula dengan harga oli antar 10-35 persen. Harga yang telah terlanjur naik, tentu sulit turun kembali. Dimanakah peran pemerintah selaku pembina angkutan umum?
Padahal angka revitalisasi senilai Rp 5 triliun itu begitu kecil. Apa dasarnya? Sebab per 21 Desember 2012, berdasarkan data Kementerian Keuangan, subsidi BBM menembus angka Rp 186,7 triliun atau membobol pagu APBN sebesar 135,9 persen!
            Andai data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi tepat, bahwa besaran subsidi BBM di Jakarta saja mencapai Rp 15 triliun. Pertanyaannya: tepatkah keputusan untuk tetap menyubsidi kendaraan pribadi?
            Persoalannya kerugian tidaklah selalu mewujud dalam jebolnya APBN. Terlebih ketika membesarnya subsidi selalu terkait dengan penggunaan—bukan kepemilikan—kendaraan pribadi. Dan, peningkatan penggunaan kendaraan pribadi selalu identik dengan memburuknya kemacetan.
            Ringkasnya, kerugian untuk Jakarta, secara material tak hanya Rp 15 triliun, tetapi boleh jadi berlipat ganda bila diperhitungkan faktor eksternalitas. Diantaranya, kerugian akibat pencemaran udara, potensi sakit akibat terlalu lama duduk, atau hilangnya waktu-waktu produktif untuk bekerja.
            Tak hanya menghitung dengan “kalkulator”, Organda juga mengajak untuk senantiasa menghitung dengan hati.
Akibat lonjakan penggunaan kendaraan pribadi yang memicu kemacetan, renungkanlah seberapa lama orangtua bercengkrama dengan anak mereka? Seberapa besar perhatian dapat diberikan seorang ibu bagi anak yang telah dilahirkannya. Sebaliknya, berapa banyak keluarga tak harmonis akibat tersitanya waktu berharga yang dihabiskan di jalan raya?

Gagalnya Disinsentif
Dana sebesar Rp 15 triliun—dihitung kasar saja, dapat untuk pengadaan 7.500 bus besar per tahun—lengkap segala macam perlengkapan navigasi dan komunikasi. Andaikata konsep hibah angkutan umum benar-benar akan dijalankan maka tidak lagi kelimpungan mencari sumber pendanaan.
            Kurangilah pengadaan 7.500 unit bus, maka dapat dibangun pusat pengaturan transportasi umum lengkap dengan perangkat monitoring, dan juga pembayaran tiket secara elektronik. Boleh jadi, dana itu juga berlebih untuk membenahi terminal-terminal bus di ibukota ini.
            Meski demikian, Organda berpendapat jauh lebih penting untuk menyusun rute atau trayek yang mengedepankan mobilitas orang dan barang. Sebab lebih sulit dan rumit daripada sekedar membeli bus. Andai bus dibeli secara besar-besaran, siapa pula yang mengoperasikannya?
            Akan tetapi, momentum revitalisasi transportasi umum dan pembangunan infrastruktur memang lenyap seiring batalnya kenaikan BBM.
Parahnya, terobosan disinsentif kendaraan pribadi dengan menaikkan uang muka “diakali” lembaga pembiayaan.  Aturan Bank Indonesia per 15 Juni 2012, yakni minimal uang muka sepeda motor 25 persen dan mobil non-produktif 30 persen; kini sekedar di atas kertas.
            Organda sungguh menyayangkan lemahnya kontrol pemerintah terkait pembiayaan ini. Terkesan, regulasi uang muka kendaraan sekedar mempertahankan tingkat kesehatan bank. Hanya itu. Padahal Organda berpendapat, regulasi uang muka dapat mengontrol tingkat kepemilikan kendaraan.
            Menjelang tutup tahun, juga terdapat fenomena dealer-dealer resmi produsen mobil menawarkan cicilan nol persen bagi pembelian kendaraan pribadi. Ironisnya, suku bunga kredit untuk pembelian angkutan umum bervariasi antara 9-25 persen. Organda tak ingin mempertanyakan soal adil atau tidak adil, akan tetapi dimanakah keberpihakan terhadap angkutan umum?
            Tentu saja, hak azasi seluruh warga negara untuk memiliki kendaraan pribadi. Organda juga tak hendak berseberangan dengan produsen mobil—dimana justru pengusaha yang tergabung dalam Organda-lah sebagai pelanggan mereka. Akan tetapi, hendaknya dipikirkan bersama langkah-langkah cerdas untuk membuat rambu-rambu kepemilikan.
            Terlebih mengingat kerugian ekonomi akibat kecelakaan lalu lintas yang melibatkan kendaraan pada tahun 2012 menembus Rp 200 triliun. Tujuh puluh persen dari kecelakaan itu, bahkan terdata melibatkan kendaraan roda dua sepeda motor, yang tetap  dapat diboyong dengan uang kurang dari Rp 500.000 saja!
            Dengan angka kerugian material sebesar itu—belum termasuk kerugian immaterial, mari kita hitung bersama, apakah manfaatnya memang jauh lebih besar bagi industri otomotif?

Mari Berjuang  
            Sepanjang tahun 2012, hal yang terus saja berulang dibanding tahun-tahun sebelumnya adalah, belum adanya sinergi antara pemerintah dan pelaku usaha transportasi. Terlalu banyak teori dan pergerakan para birokrat, yang tidak mewujud di lapangan.
            Beberapa birokrat memang telah mengusulkan insentif bagi angkutan umum, tetapi sangat minim eksekusi. Padahal, insentif bagi angkutan umum merupakan bagian dari kebijakan negara di berbagai belahan dunia.
            Dengan meningkatnya kelas menengah di Indonesia, dengan prediksi kemacetan parah di masa mendatang akibat ekonomi yang terus bertumbuh, tiada yang lebih penting daripada komitmen dan aksi nyata untuk mewujudkan komitmen tersebut. Tahun 2012 ini, tegasnya sebenarnya lebih banyak perdebatan daripada kerja nyata.
            Lupakah pemerintah dengan Pasal 5 ayat 1 dari Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bahwa, ”Negara bertanggungjawab atas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah”.
            Dengan demikian, ketika swasta telah ”menceburkan” diri di dunia transportasi maka Organda mengajak partisipasi negara—juga BUMN sebagai perpanjangan tangan negara untuk bekerja bersama.
Ambil contoh, BUMN yang mengurusi asuransi sepatutnya berbuat lebih dengan memberikan pelatihan bagi awak angkutan umum. Dalam pandangan kami, kinerja dari sebuah perusahaan asuransi milik negara (BUMN) harusnya terletak pada penurunan jumlah klaim bukan sekedar laba!
            Organda sendiri pun mencoba melangkah. Organda telah  menggandeng NEA, lembaga riset dan pelatihan transportasi yang berbasis di Belanda untuk melatih sopir di perusahaan-perusahaan otobus dan truking.  
            Tahun depan, menggandeng NEA dan Shipping and Transport College (STC) Rotterdam, Organda juga akan menggelar pelatihan sopir truk di kawasan pelabuhan. Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya, akan memulai pelatihan ini—utamanya karena seluruh truk di sana merupakan anggota Organda.
            Pelatihan sopir bus juga truk, tidak sekedar menyasar  peningkatan keselamatan, tetapi juga efisiensi bahan bakar. Tingkat efisiensi pemakaian BBM bahkan diperhitungkan sebesar 30 persen. Sektor swasta telah mencoba meringankan beban pemerintah untuk menyubsidi BBM.
            Minim aksi, minim sinergi, dan minim bantuan. Itulah faktanya. Ketika angkutan darat sangat sensitif dengan keberadaan dukungan jalan, faktanya pertambahan jaringan jalan tidak signifikan. Kita paham bersama, bahwa satu-satunya, ruas tol yang diresmikan tahun ini hanyalah seksi I Jalan Tol Cinere-Jagorawi (3,7 kilometer)pada Jumat (27/1/2012).  
            Kembali diingatkan oleh Organda, komitmen pemerintah untuk menuntaskan jaringan jalan tol Trans-Jawa. Sebab kemacetan di jalan-jalan nasional, sungguh telah merugikan angkutan umum. Ada terjadi, sopir bus menolak beroperasi pada akhir pekan karena tak lagi tahan dengan kemacetan.
            Dinanti pula aksi pemerintah bagi keberlangsungan angkutan umum ketika Upah Minimum Provinsi telah memang melesat. UMP DKI Jakarta tahun 2013 misalnya, naik 43,8 persen dari tahun 2012 menjadi Rp 2,2 juta. Insentif apa yang disiapkan bagi kami, pelaku usaha angkutan?
            Juga ada tiga hal yang menjadi catatan Organda, yang dapat diperjuangkan bersama. Pertama,  revitalisasi atau sederhananya penyusunan ulang trayek angkutan umum. Kedua, dibutuhkan kembali penerapan disinsentif bagi kendaraan pribadi. Ketiga, penyamarataan persepsi dan kompetensi untuk menerapkan kebijakan dari tiap Dinas Perhubungan di pemerintahan daerah manapun.

Tawaran Konkret
            Ketika 14 Desember 2012 lalu, Jakarta mengharu-biru oleh kemacetan total akibat demonstrasi besar-besaran di depan kompleks MPR/DPR di Senayan, terlihat jelas betapa belum ada strategi transportasi di Jakarta—apalagi di kota lain.
            Solusi ketika itu, lebih terlihat sebagai solusi “pemadam kebakaran”. Belum ada rencana preventif untuk melindungi mobilitas orang dan barang yang sangat krusial. Padahal semestinya ada keterukuran akan efisiensi dan sukses atas strategi yg dibuat.
            Hal terpenting adalah, terbangunnya strategi yang transparan bagi publik. Sehingga, ada pula pendidikan publik sehingga rakyat mau menjadi bagian dari kegiatan yang dibutuhkan dalam mendukung mobilitas di Jakarta. 
Rencana strategi kondisi darurat juga harus dimulai dari awal seperti rumah, depo kendaraan, atau terminal ke tempat aktifitas. Tidak sekedar rencana pengalihan arus kendaraan, yang memicu “grid-lock” di ruas-ruas jalan tertentu. 
Tahun depan, bila Pemerintah Provinsi Jakarta—Pak Jokowi dan Pak Basuki berkenan maka Dewan Pengurus Pusat Organda akan membantu secara gratis pembuatan strategi kondisi darurat tadi. Gratis. Termasuk di dalamnya, strategi untuk penerapan intermoda oleh karena angkutan darat jelas tak dapat berdiri sendiri. 
             Akhir kata, tanpa adanya keberpihakan kepada angkutan umum orang dan angkutan umum barang, maka apa yang di canangkan Pemerintah untuk Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7 % pada tahun 2013 dan prediksi dari negara-negara asing yang menyampaikan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk menjadi salah satu dari 7 negara di dunia dalam kategori Negara Ekonomi Terkuat di Dunia pada tahun 2020, dimana semua yang disampaikan adalah sangat mungkin tercapai apabila Keputusan, Regulasi, atau Policy yang disiapkan Regulator Indonesia memang nyata dan dan kongkrit terlaksana dalam mendukung terjadinya revitalisasi angkutan umum orang dan barang yang terutama sangat perlu mulai dibenahi dari sistem desain Rute Angkutan agar benar mampu memenuhi kebutuhan rakyat dan kebutuhan distribusi barang-barang di negara kita yang memiliki tantangan tersendiri karena merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Angkutan umum bagi orang dan angkutan umum barang tak bisa lagi dipandang sebagai ”tukang angkut” belaka karena kita semua merasakan kemacetan terjadi di mana-mana, Jabodetabek dan Bandung yang merambah ke Jawa Tengah serta banyaknya terjadi urbanisasi dari orang-orang daerah ke Jakarta untuk mencari nafkah yang menunjukkan kegiatan distribusi yang paling besar dilaksanakan oleh angkutan transportasi darat, tidak berjalan dan belum terjadi pemerataan ekonomi seperti yang diharapkan Pemerintah dan Rakyat Indonesia. Angkutan umum orang dan barang merupakan faktor krusial sebagai penumbuh ekonomi negara, faktor dominan dari daya saing sebuah bangsa, dan juga fasilitator pemerataan guna mengentaskan kemiskinan di negara Indonesia.

No comments:

Post a Comment