“Menyelamatkan” Pulau Bali, “Menyelamatkan” Republik….
Hari-hari ini, progress atau kemajuan proyek Jalan Tol Benoa-Ngurah Rai-Nusa Dua telah mencapai 73 persen. Kerja keras Jasa Marga dan BUMN karya lainnya, tentu saja patut dihargai bersama. Terlebih, proyek ini dimaksudkan untuk mengurai kemacetan di Pulau Bali bagian selatan.
Di Bali-lah, jalan tol pertama di atas laut dibangun. Akan ada 4.913 titik tiang pancang untuk menopang 8,1 kilometer jembatan, yang membentuk ruas tol dengan total panjang 12,5 kilometer. Berapa total dana yang dibutuhkan? Tidak kurang dari Rp 2,5 triliun, meski telah ada komitmen kredit dari Bank Mandiri, BNI, BRI dan BCA sebesar Rp 1,74 triliun.
Seperti halnya Jembatan Tol Suramadu, tol Bali didesain bagi kendaraan roda empat atau lebih maupun kendaraan roda dua. Tarif kendaraan roda roda empat diperhitungkan Rp 10.000, sedangkan roda dua Rp 4.000.
Pertanyaannya, apakah jalan tol mampu menuntaskan persoalan kemacetan di Bali? Seberapa lamakah jalan tol dapat bertahan sebelum kemacetan meluas hingga jembatan tol Bali?
Beberapa hari belakangan di Jakarta--untuk juga turut menjadi refleksi kita bersama, pendapat pro-kontra meruncing terkait pembangunan enam ruas jalan tol. Pertanyaan terbesarnya adalah, sejauh mana manfaat dari proyek tol dengan biaya investasi Rp 40 triliun itu?
Sejauh mana keberadaan enam ruas jalan tol mampu menuntaskan persoalan transportasi di Jakarta dan sekitarnya. Organda pun mempertanyakan, apakah jalan tol mampu menawarkan jawaban atas persoalan mobilitas barang dan orang? Tidakkah angkutan umum, lebih tepat untuk memberikan jawaban?
Nah sebelum ada jawaban pasti, pada hari Selasa (16/1/2013), di Jakarta, dimulailah uji coba Jalan Layang Non Tol Antasari-Blok M sepanjang 4,8 kilometer. Dan, dua hari pertama ujicoba, yakni Selasa dan Rabu, terjadi kemacetan total di jalan layang baru tersebut. Ada warga yang mengaku melintasi jalan layang itu selama dua jam (pukul 5-7 pada hari Selasa kemarin).
Bagaimana dengan Bali? Faktanya, selain proyek Jalan Tol Benoa-Ngurah Rai-Nusa Dua, belum terdengar pembangunan transportasi umum secara masif.
Padahal kemacetan telah sangat memusingkan, tanpa diiringi upaya keras pembatasan kendaraan pribadi, juga tanpa diimbangi pembangunan angkutan umum. Tahun 2013, masih belum terlihat adanya harapan bagi transportasi umum di Bali.
Bagi investor tol, untungnya di Bali, tidak ada pakar dan pemerhati transportasi, yang menuntut jalur khusus bus rapid transit di sebuah ruas tol. Belum pula terdengar adanya warga yang mengancam akan mencabut dukungan bagi kepala daerah bila tak membangun transportasi umum.
Alhasil ketika ”peak seasons”, sering terjadi perjalanan Sanur sampai Ngurah Rai harus ditempuh satu jam. Makin sering sopir taksi menolak untuk mengantar ke tujuan tertentu seperti Kuta dan Legian dengan alasan macet total.
Dipahami bersama, pembangunan jalan di Bali nyaris stagnan. Lima tahun terakhir, nyaris tidak ada pertambahan panjang jalan provinsi. Jalan nasional juga hanya bertambah 26 km antara Tohpati dan Kusamba. Di Bali pun hanya ada 535 km jalan nasional dan 860 km jalan provinsi.
Alokasi dana APBN Bali terhadap infrastruktur jalan juga kurang dari 10 persen! Tahun 2012, dari ketersediaan dana Rp 2 triliun per tahun, infrastruktur jalan hanya mendapat alokasi Rp 143 miliar.
Padahal ada pameo jumlah kendaraan di Bali kini melebihi jumlah penduduk resmi di Bali. Ini dulu dan sekarang, entah esok bila mobik-mobil murah telah menyesaki jalan-jalan di Bali. Bagaimana kacaunya, bila tiap turis menyewa mobil murah yang regulasinya akan diterbitkan Januari 2013 ini.
Tol Bali--juga tentu saja pembangunan jalan baru, kini memang dinanti seiring minimnya pembangunan infrastruktur jalan. Akan tetapi, tetap dibutuhkan solusi transportasi yang komprehensif selain pembangunan jalan tol. Dibutuhkan moda transportasi yang benar-benar hanya memindahkan orang, tidak harus memindahkan kendaraannya.
Terkait mobilitas orang dan barang, Bali kiranya harus bercermin dari Singapura. Dengan luas ”hanya” 710 kilometer persegi, seolah-olah Singapura lebih lapang sehingga menyenangkan dari Pulau Bali yang luasnya mencapai 5.632 kilometer persegi atau 8 kali lebih besar. Padahal penduduk Bali ”hanyalah” 4 juta orang, lebih sedikit dari penduduk Singapura yang mencapai 4,5 juta orang.
Akibat transportasi umum yang luar biasa baiknya, maka tiap sudut Pulau Singapura dapat dijangkau dalam hitungan belasan hingga puluhan menit. Ini sungguh menyenangkan bagi wisatawan misalnya, yang dapat memaksimalkan waktu pelesirannya. Selain tentunya terdapat fasilitas-fasilitas infrastruktur lainnya.
Maka tidaklah mengherankan bila sepanjang tahun 2012, kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali berada di angka 2 juta orang sebaliknya Singapura dibanjiri 14 juta orang per tahun.
Bayangkan bila di Pulau Bali, dibangun transportasi umum yang murah dan handal. Bayangkan adanya bus rapid transit dengan ”headway” konstan 10-15 menit sekali. Bukankah bus itu akan mampu menggelontorkan wisatawan ke tiap sudut Bali. Dollar mengalir, perekonomian pun tumbuh.
Kepentingan Bersama, Kepentingan Republik
Keberpihakan, pembelaan, serta pengimplementasian transportasi umum di Bali; kiranya sedikit-banyak akan mampu ”menyelamatkan” republik ini. Terutama untuk menyelamatkan keuangan negara dari beban subsidi yang terlampau besar.
Realisasi subsidi BBM tahun 2012, memang telah mencapai Rp 211,89 triliun atau 154,2 persen dari target. Ini terjadi terutama karena realisasi konsumsi BBM bersubsidi sebanyak 45,2 juta kiloliter (kl) atau jebol 5,2 juta kl dari pagu.
Besarnya konsumsi BBM, konyolnya berbanding terbalik dengan lifting minyak yang terus merosot. Dari target tahun 2012 sebanyak 930.000 barrel, realisasinya 860.600 barrel per hari. Konsekuensinya, impor minyak naik. Ini menjadi salah satu sebab neraca perdagangan defisit. Ujung-ujungnya neraca transaksi berjalan juga turut defisit.
Bicara soal bengkaknya subsidi, dalam kaitannya dengan harga BBM, terserahlah pemerintah yang memikirkan. Naik atau tidaknya harga BBM toh hanya sekedar mau atau tidak mau. Akan tetapi, Organda mau menggarisbawahi bahwa sesungguhnya organisasi ini dapat membantu dengan menekan permintaan terhadap BBM bersubsidi.
Organda sendiri pun, tanpa bantuan pemerintah, mencoba melangkah. Organda telah menggandeng NEA, lembaga riset dan pelatihan transportasi yang berbasis di Belanda untuk melatih sopir di perusahaan-perusahaan otobus.
Tahun depan, menggandeng NEA dan Shipping and Transport College (STC) Rotterdam, Organda juga akan menggelar pelatihan sopir truk di kawasan pelabuhan. Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya, akan memulai pelatihan ini--utamanya karena seluruh truk di sana merupakan anggota Organda.
Pelatihan sopir bus juga truk, tidak sekedar menyasar peningkatan keselamatan, tetapi juga efisiensi bahan bakar. Tingkat efisiensi pemakaian BBM bahkan diperhitungkan sebesar 30 persen.
Sektor swasta telah mencoba meringankan beban pemerintah untuk menyubsidi BBM, meski harus diperhatikan bersama bahwasanya pemakaian BBM bersubsidi oleh angkutan umum lebih rendah daripada oleh kendaraan pribadi. Artinya, butuh keputusan yang lebih besar lagi.
Dibutuhkan pula terobosan untuk “menekan” alokasi subsidi BBM. Nantinya, diharapkan pula ada pengalihan dana subsidi menjadi dana kompensasi berbentuk dana revitalisasi angkutan umum. Harus dipahami, dana itu tentu saja untuk menjaga keberlanjutan angkutan umum, bahkan hingga pengembangan jaringan angkutan umum di masa mendatang.
Meski belum ada titik terang terkait kebijakan menyangkut BBM bersubsidi, Organda sungguh berharap para penguasa republik ini dibukakan pikiran dan mata hatinya. Diberikan pedoman untuk lebih mendorong terbangunnya angkutan umum demi kepentingan rakyatnya.
Atau, lupakah pula pemerintah dengan Pasal 5 ayat 1 dari Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam pasal itu disebutkan, bahwa, ”Negara bertanggungjawab atas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah”.
Lupa atas pasal itu, maka alih-alih membina, pemerintah secara tidak langsung malah ”membinasakan” angkutan umum. Semoga tidak demikian...
(DPP Organda)
No comments:
Post a Comment