KATA kunci orang mau menggunakan transportasi massal adalah bila
sistem transportasinya modern, bersih dan memiliki keteraturan waktu.
Hal itu semua tergambar dalam sistem transportasi Malaysia yang berbasis
rel seperti monorail, KTM maupun LRT, serta bis umum. Jadi, mengapa tak
mencontoh sistem tranportasi Malaysia?
Sebagai Ibukota Negara, Kuala Lumpur memang belum mampu menghilangkan
kemacetan secara keseluruhan seperti halnya Singapura. Namun, kemacetan
di sana sangat masuk akal karena hanya terjadi sebelum dan setelah jam
kerja. Tidak demikian halnya di Jakarta karena kemacetan sudah dirasakan
mulai pukul 06:00 hingga pukul 22:00 lebih.
Jumlah penduduk Jakarta memang jauh lebih besar ketimbang Kuala
Lumpur. Siang hari, Jakarta dipadati sekitar 12 juta orang, dan malam
hari hanya separohnya. Sedangkan jumlah penduduk Kuala Lumpur jauh
lebih sedikit, yakni sekitar 2 juta pada siang hari, dan 1 juta malam
harinya.
Namun demikian, jumlah penduduk bukan alasan untuk membangun sistem
transportasi massal yang modern. Wartawan Pos Kota di Kuala Lumpur,
Ballian Siregar, mencoba melukiskan sistem transportasi Malaysia yang
berbasis transportasi umum, yakni LRT (Light Rail Transit), KTM (seperti
halnya KRL AC/Ekonomi) maupun monorail, dan bis umum.
Jalur transportasi massa di Kuala Lumpur dibangun terintegrasi dengan
pusat-pusat keramaian, atau yang disebut “Golden Triangle” (pusat
bisnis, belanja, dan hiburan yang dimulai dari KL Sentral – Bukit
Bintang – hingga Titi Wangsa). Rute KL Monorail misalnya, mampu
menjangkau tempat wisata, pusat belanja, bisnis, dan hiburan.
Demikian juga halnya LRT maupun KTM atau bis umum yang terintegrasi
satu dengan lainnya. Ada delapan jalur transportasi berbasis rel yang
menghubungkan banyak tempat di Kuala Lumpur sehingga orang tidak lagi
memilih mobil pribadi untuk mengantarnya ke tempat tertentu. Moda
transportasi massal yang berbasis rel itu, mengurangi minat orang naik
bis umum maupun mobil serta sepeda motor.
Jalur atau orang Malaysia menyebutnya laluan, bisa dengan nyaman naik
LRT melalui Laluan Seremban (jalur 1) dari Tanjung Malim ke Sungai
Gadut yang melewati setidaknya 28 stasiun. Demikian juga Laluan
Pelabuhan Klang akan membawa penumpang dari Batu Caves hingga Pelabuhan
Klang yang melewati 27 stasiun. Atau dari Laluan Sri Petaling mulai
dari Sentul Timur hingga Stasiun Ampang.
Kedelapan jalur tersebut terintegrasi satu dengan lainnya, dan
dihubungkan bis Rapid KL yang bisa Anda gunakan dari dari halte-hal
tersedia, sebab tidak boleh naik dan turun di sembarang tempat. Seperti
halnya KTM, LRT atau monorail maupun bis, Anda cukup datang membeli
tiket di konter atau melalui mesin.
Umumnya, transaksi tiket (token) dilakukan melalui mesin. Biaya
sekali tujuan tergantung jauh dekatnya, tetapi tidak lebih dari 3 RM
(Rp9 ribu). Pengembalian uang pun dilakukan melalui mesin, hingga
kemudian Anda mendapat satu token yang digunakan untuk membuka pintu
masuk dan pintu keluar stasiun. Begitu juga bila Anda ingin berpindah
LRT atau monorail untuk tujuan lain.
Di sisi lain, stasiun dikelola secara profesional. Misalnya, tidak
ada pedagang asongan seperti yang sering kita jumpai di stasiun-stasiun
kereta api di Jakarta. Juga tidak ada yang merokok sembarangan, serta
stasiun yang kebersihannya tetap terjaga.
Ruang atau space dalam stasiun pun menjadi medium bagi perusahaan untuk mempromosikan produknya melalui iklan, seperti Samsung yang iklannya terlihat di setiap stasiun.
Kenyamanan dan kebersihan stasiun membuat orang tak merasa risih
berada di sana. Apalagi keteraturan moda transportasi datang secara
priodik, yakni tak lebih dari setiap 15 menit. Jam operasionalnya mulai
dari pukul 06:00 hingga pukul 00:00 waktu setempat. Jika kondisi seperti
di Kuala Lumpur ada di Jakarta, orang yang hendak bepergian kemungkinan
memilih transportasi massal yang nyaman, bukan dengan mobil pribadi.* (sumber: postkotanews.com).
No comments:
Post a Comment