Jangan Sepelekan Potensi Angkutan Umum….
Sejak fajar pertama di tahun 2012 merekah, telah dimulainya perdebatan berkepanjangan terkait kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Pemerintah memang sempat mewacanakan kenaikan harga BBM bersubsidi demi menyelamatkan keuangan negara.
Organda
pun berjibaku. Mengatur strategi, angkat suara, dan menyumbangkan saran untuk
keberlangsungan angkutan umum. Niat utamanya, tak sekedar ingin menyelamatkan
bisnis transportasi. Tetapi, agar mobilitas barang dan orang tetap berlangsung
sekalipun mereka tidak memiliki akses terhadap kendaraan pribadi.
Perjuangan Organda juga
memastikan kelancaran mobilitas sebagai esensi dasar kehidupan. Orang boleh
berkata apa pun soal angkutan umum. Tetapi di darat, lebih dari 90 persen
pergerakan difasilitasi oleh armada yang bernaung dibawah Organda.
Meski harus
digarisbawahi, kerja keras Organda pertama-tama fokus ditujukan bagi angkutan
perkotaan atau urban transport, sebab
angkutan perkotaan mendapatkan tantangan keras dari kendaraan roda dua sepeda
motor, dengan berbagai kemudahaannya. Sedangkan perkotaan sudah mengalami
kemacetan yang semakin memburuk dan sangat merugikan ekonomi negara serta
membuat penderitaan bagi semua orang yang hidup, bekerja dan beraktifitas di urban area. Angkutan umum barang juga
mendapatkan perhatian Organda karena peraturan yang ada masih belum
dipersiapkan secara detail, dibandingkan dengan angkutan penumpang, padahal
angkutan umum barang berkembang pesat seiring dengan meningkatnya kebutuhan
barang untuk masyarakat.
Ditegaskan
kembali, perjuangan Organda untuk menjaga kelangsungan hidup angkutan umum juga
atas dasar turut berkontribusi menghemat pengeluaran negara. Dana yang tersedia lebih baik dimanfaatkan
untuk membangun lebih banyak infrastruktur terutama di Indonesia bagian timur.
Setelah
perdebatan demi perdebatan, keluarlah angka Rp 5 triliun bagi revitalisasi
530.000 angkutan umum. Dijanjikan subsidi pembelian ban, dan suku cadang lain,
supaya kondisi angkutan umum membaik. Mekanismenya telah disusun bersama-sama
dengan pemerintah.
Namun
ternyata, BBM bersubsidi tidak jadi naik per 1 April 2012. Kompensasi untuk
revitalisasi angkutan umum dibatalkan! Organda menerima fakta yang merupakan
hasil dari dinamika politik.
Akan tetapi, apakah
dipahami bahwa telah terjadi kenaikan harga ban antara 15-35 persen; begitu
pula dengan harga oli antar 10-35 persen. Harga yang telah terlanjur naik,
tentu sulit turun kembali. Dimanakah peran pemerintah selaku pembina angkutan
umum?
Padahal angka revitalisasi
senilai Rp 5 triliun itu begitu kecil. Apa dasarnya? Sebab per 21 Desember
2012, berdasarkan data Kementerian Keuangan, subsidi BBM menembus angka Rp 186,7 triliun atau membobol pagu APBN sebesar 135,9
persen!
Andai data Badan Pengatur Hilir
Minyak dan Gas Bumi tepat, bahwa besaran subsidi BBM di Jakarta saja mencapai
Rp 15 triliun. Pertanyaannya: tepatkah keputusan untuk tetap menyubsidi
kendaraan pribadi?
Persoalannya kerugian tidaklah
selalu mewujud dalam jebolnya APBN. Terlebih ketika membesarnya subsidi selalu
terkait dengan penggunaan—bukan kepemilikan—kendaraan pribadi. Dan, peningkatan
penggunaan kendaraan pribadi selalu identik dengan memburuknya kemacetan.
Ringkasnya, kerugian untuk Jakarta,
secara material tak hanya Rp 15 triliun, tetapi boleh jadi berlipat ganda bila
diperhitungkan faktor eksternalitas. Diantaranya, kerugian akibat pencemaran
udara, potensi sakit akibat terlalu lama duduk, atau hilangnya waktu-waktu
produktif untuk bekerja.
Tak hanya menghitung dengan
“kalkulator”, Organda juga mengajak untuk senantiasa menghitung dengan hati.
Akibat lonjakan penggunaan kendaraan pribadi yang
memicu kemacetan, renungkanlah seberapa lama orangtua bercengkrama dengan anak
mereka? Seberapa besar perhatian dapat diberikan seorang ibu bagi anak yang
telah dilahirkannya. Sebaliknya, berapa banyak keluarga tak harmonis akibat
tersitanya waktu berharga yang dihabiskan di jalan raya?
Gagalnya Disinsentif
Dana sebesar Rp 15 triliun—dihitung kasar saja, dapat
untuk pengadaan 7.500 bus besar per tahun—lengkap segala macam perlengkapan
navigasi dan komunikasi. Andaikata konsep hibah angkutan umum benar-benar akan
dijalankan maka tidak lagi kelimpungan mencari sumber pendanaan.
Kurangilah pengadaan 7.500 unit bus,
maka dapat dibangun pusat pengaturan transportasi umum lengkap dengan perangkat
monitoring, dan juga pembayaran tiket secara elektronik. Boleh jadi, dana itu
juga berlebih untuk membenahi terminal-terminal bus di ibukota ini.
Meski demikian, Organda berpendapat
jauh lebih penting untuk menyusun rute atau trayek yang mengedepankan mobilitas
orang dan barang. Sebab lebih sulit dan rumit daripada sekedar membeli bus.
Andai bus dibeli secara besar-besaran, siapa pula yang mengoperasikannya?
Akan tetapi, momentum revitalisasi transportasi
umum dan pembangunan infrastruktur memang lenyap seiring batalnya kenaikan BBM.
Parahnya, terobosan
disinsentif kendaraan pribadi dengan menaikkan uang muka “diakali” lembaga
pembiayaan. Aturan Bank Indonesia per 15
Juni 2012, yakni minimal uang muka sepeda motor 25 persen dan mobil
non-produktif 30 persen; kini sekedar di atas kertas.
Organda
sungguh menyayangkan lemahnya kontrol pemerintah terkait pembiayaan ini. Terkesan,
regulasi uang muka kendaraan sekedar mempertahankan tingkat kesehatan bank.
Hanya itu. Padahal Organda berpendapat, regulasi uang muka dapat mengontrol
tingkat kepemilikan kendaraan.
Menjelang
tutup tahun, juga terdapat fenomena dealer-dealer
resmi produsen mobil menawarkan cicilan nol persen bagi pembelian kendaraan
pribadi. Ironisnya, suku bunga kredit untuk pembelian angkutan umum bervariasi
antara 9-25 persen. Organda tak ingin mempertanyakan soal adil atau tidak adil,
akan tetapi dimanakah keberpihakan terhadap angkutan umum?
Tentu
saja, hak azasi seluruh warga negara untuk memiliki kendaraan pribadi. Organda
juga tak hendak berseberangan dengan produsen mobil—dimana justru pengusaha
yang tergabung dalam Organda-lah sebagai pelanggan mereka. Akan tetapi,
hendaknya dipikirkan bersama langkah-langkah cerdas untuk membuat rambu-rambu
kepemilikan.
Terlebih
mengingat kerugian ekonomi akibat
kecelakaan lalu lintas yang melibatkan kendaraan pada tahun 2012 menembus Rp
200 triliun. Tujuh puluh persen dari kecelakaan itu, bahkan terdata melibatkan
kendaraan roda dua sepeda motor, yang tetap
dapat diboyong dengan uang kurang dari Rp 500.000 saja!
Dengan angka kerugian material
sebesar itu—belum termasuk kerugian immaterial, mari kita hitung bersama,
apakah manfaatnya memang jauh lebih besar bagi industri otomotif?
Mari Berjuang
Sepanjang tahun 2012, hal yang terus saja berulang
dibanding tahun-tahun sebelumnya adalah, belum adanya sinergi antara pemerintah
dan pelaku usaha transportasi. Terlalu banyak teori dan pergerakan para
birokrat, yang tidak mewujud di lapangan.
Beberapa birokrat memang telah
mengusulkan insentif bagi angkutan umum, tetapi sangat minim eksekusi. Padahal,
insentif bagi angkutan umum merupakan bagian dari kebijakan negara di berbagai
belahan dunia.
Dengan meningkatnya kelas menengah
di Indonesia, dengan prediksi kemacetan parah di masa mendatang akibat ekonomi
yang terus bertumbuh, tiada yang lebih penting daripada komitmen dan aksi nyata
untuk mewujudkan komitmen tersebut. Tahun 2012 ini, tegasnya sebenarnya lebih banyak perdebatan
daripada kerja nyata.
Lupakah
pemerintah dengan Pasal 5 ayat 1 dari Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bahwa, ”Negara bertanggungjawab atas Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah”.
Dengan
demikian, ketika swasta telah ”menceburkan” diri di dunia transportasi maka
Organda mengajak partisipasi negara—juga BUMN sebagai perpanjangan tangan
negara untuk bekerja bersama.
Ambil contoh, BUMN yang
mengurusi asuransi sepatutnya berbuat lebih dengan memberikan pelatihan bagi
awak angkutan umum. Dalam pandangan kami, kinerja dari sebuah perusahaan asuransi
milik negara (BUMN) harusnya terletak pada penurunan jumlah klaim bukan sekedar
laba!
Organda
sendiri pun mencoba melangkah. Organda telah menggandeng NEA, lembaga riset dan pelatihan
transportasi yang berbasis di Belanda untuk melatih sopir di perusahaan-perusahaan
otobus dan truking.
Tahun depan, menggandeng NEA dan
Shipping and Transport College (STC) Rotterdam, Organda juga akan menggelar
pelatihan sopir truk di kawasan pelabuhan. Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya,
akan memulai pelatihan ini—utamanya karena seluruh truk di sana merupakan
anggota Organda.
Pelatihan sopir bus juga truk, tidak
sekedar menyasar peningkatan keselamatan,
tetapi juga efisiensi bahan bakar. Tingkat efisiensi pemakaian BBM bahkan
diperhitungkan sebesar 30 persen. Sektor swasta telah mencoba meringankan beban
pemerintah untuk menyubsidi BBM.
Minim
aksi, minim sinergi, dan minim bantuan. Itulah faktanya. Ketika angkutan darat
sangat sensitif dengan keberadaan dukungan jalan, faktanya pertambahan jaringan
jalan tidak signifikan. Kita paham bersama, bahwa satu-satunya, ruas tol yang
diresmikan tahun ini hanyalah seksi I Jalan Tol Cinere-Jagorawi (3,7 kilometer)pada
Jumat (27/1/2012).
Kembali diingatkan oleh Organda,
komitmen pemerintah untuk menuntaskan jaringan jalan tol Trans-Jawa. Sebab
kemacetan di jalan-jalan nasional, sungguh telah merugikan angkutan umum. Ada
terjadi, sopir bus menolak beroperasi pada akhir pekan karena tak lagi tahan
dengan kemacetan.
Dinanti pula aksi pemerintah bagi
keberlangsungan angkutan umum ketika Upah Minimum Provinsi telah memang melesat. UMP DKI Jakarta tahun
2013 misalnya, naik 43,8 persen dari tahun 2012 menjadi Rp 2,2 juta. Insentif
apa yang disiapkan bagi kami, pelaku usaha angkutan?
Juga
ada tiga hal yang menjadi catatan Organda, yang dapat diperjuangkan bersama.
Pertama, revitalisasi atau sederhananya
penyusunan ulang trayek angkutan umum. Kedua, dibutuhkan kembali penerapan
disinsentif bagi kendaraan pribadi. Ketiga, penyamarataan persepsi dan
kompetensi untuk menerapkan kebijakan dari tiap Dinas Perhubungan di
pemerintahan daerah manapun.
Tawaran
Konkret
Ketika 14 Desember 2012 lalu, Jakarta
mengharu-biru oleh kemacetan total akibat demonstrasi besar-besaran di depan
kompleks MPR/DPR di Senayan, terlihat jelas betapa belum ada strategi
transportasi di Jakarta—apalagi di kota lain.
Solusi
ketika itu, lebih terlihat sebagai solusi “pemadam
kebakaran”. Belum ada rencana preventif untuk melindungi mobilitas orang dan
barang yang sangat krusial. Padahal semestinya ada keterukuran akan efisiensi
dan sukses atas strategi yg dibuat.
Hal terpenting adalah, terbangunnya
strategi yang transparan bagi publik. Sehingga, ada pula pendidikan publik
sehingga rakyat mau menjadi bagian dari kegiatan yang dibutuhkan dalam
mendukung mobilitas di Jakarta.
Rencana strategi kondisi darurat juga harus
dimulai dari awal seperti rumah, depo kendaraan, atau terminal ke tempat
aktifitas. Tidak sekedar rencana pengalihan arus kendaraan, yang memicu
“grid-lock” di ruas-ruas jalan tertentu.
Tahun depan, bila Pemerintah Provinsi Jakarta—Pak Jokowi
dan Pak Basuki berkenan maka Dewan Pengurus Pusat Organda akan membantu secara
gratis pembuatan strategi kondisi darurat tadi. Gratis. Termasuk di dalamnya,
strategi untuk penerapan intermoda oleh karena angkutan darat jelas tak dapat
berdiri sendiri.
Akhir kata, tanpa adanya keberpihakan kepada
angkutan umum orang dan angkutan umum barang, maka apa yang di canangkan
Pemerintah untuk Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7 % pada tahun
2013 dan prediksi dari negara-negara asing yang menyampaikan bahwa Indonesia
memiliki potensi untuk menjadi salah satu dari 7 negara di dunia dalam kategori
Negara Ekonomi Terkuat di Dunia pada tahun 2020, dimana semua yang disampaikan
adalah sangat mungkin tercapai apabila Keputusan, Regulasi, atau Policy yang disiapkan Regulator
Indonesia memang nyata dan dan kongkrit terlaksana dalam mendukung terjadinya
revitalisasi angkutan umum orang dan barang yang terutama sangat perlu mulai
dibenahi dari sistem desain Rute Angkutan agar benar mampu memenuhi kebutuhan
rakyat dan kebutuhan distribusi barang-barang di negara kita yang memiliki
tantangan tersendiri karena merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.
Angkutan umum bagi orang dan angkutan umum barang tak bisa lagi dipandang
sebagai ”tukang angkut” belaka karena kita semua merasakan kemacetan terjadi di
mana-mana, Jabodetabek dan Bandung yang merambah ke Jawa Tengah serta banyaknya
terjadi urbanisasi dari orang-orang daerah ke Jakarta untuk mencari nafkah yang
menunjukkan kegiatan distribusi yang paling besar dilaksanakan oleh angkutan
transportasi darat, tidak berjalan dan belum terjadi pemerataan ekonomi seperti
yang diharapkan Pemerintah dan Rakyat Indonesia. Angkutan umum orang dan barang
merupakan faktor krusial sebagai penumbuh ekonomi negara, faktor dominan dari
daya saing sebuah bangsa, dan juga fasilitator pemerataan guna mengentaskan kemiskinan
di negara Indonesia.
No comments:
Post a Comment