JAKARTA- Organisasi Penguasaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan atau
Organda menuntut pemerintah untuk berpihak kepada angkutan massal dan
tidak memberlakukan peraturan daerah yang memberatkan seperti Perda DKI
Jakarta No.3/2012.
Dalam Perda DKI Jakarta No.3/2012 tentang Retribusi Daerah ini yang
dipersoalkan Organda adalah diberlakukannya retribusi pengujian
kendaraan bermotor serta kenaikan tarif retribusi terminal. Perda ini
mulai berlaku sejak 1 Oktober 2012.
Ketua Umum Organisasi Penguasaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan
(Organda) Eka Sari Lorena mengatakan di negara-negara lain tidak
dikenakan biaya pengujian kendaraan bermotor atau dikenal dengan KIR.
"Retribusi naik juga tidak disertai peningkatan layanan di lapangan
kepada operator, hanya biaya yang dikenakan mereka yang dinaikkan.
Kasihan rakyat, kasihan sopir-sopir angkot dan kasihan operator itu,
pengusaha kecil," kata Eka Sari kepada Bisnis, Selasa (20/11/2012).
Dalam Perda DKI Jakarta No.3/2012 tentang Retribusi Daerah, bagian
keenam bab Perhubungan Pasal 56 disebutkan ayat satu hingga tiga, bahwa
atas pelayanan pengujian kendaraan bermotor
pada bidang Perhubungan, dipungut retribusi dengan nama Retribusi
Pengujian Kendaraan Bermotor. Objeknya adalah pengujian kendaraan
bermotor. Juga dipungut tarif baru untuk Retribusi Terminal.
Sekjen Organda Andriansyah mengatakan retribusi pengujian KIR jangan
diterapkan untuk kendaraan umum. "Dahulu sempat dihapus, kendaraan umum
tidak dikenakan retribusi pengujian KIR. Namun dengan Perda No.3/2012
ini, mulai diberlakukan lagi," ucapnya.
Menurut Andriansyah, pada perda sebelumnya retribusi pengujian KIR
tidak dikenakan sebagai insentif pemerintah karena tarif angkutan umum
yang tidak naik. "Nah sekarang kok retribusi KIR diberlakukan, padahal
tarif juga tidak naik sejak 2009. Ini akan memberatkan pengusaha
angkutan umum yang merupakan pengusaha kecil," tuturnya.
Dia menambahkan untuk mengaspirasikan agar tidak diberlakukannya
retribusi KIR ini, sekitar 2.000 sopir angkutan umum, yakni mikrolet dan
metro mini dari DKI Jakarta mendatangi Gubernur DKI Joko Widodo.
Diharapkan, dari pertemuan itu tidak diberlakukan retribusi KIR juga
tarif terminal tidak dinaikkan.
"Soal tarif terminal ini, seharusnya tidak naik karena pelayanannya
juga tidak ada peningkatan. Tarifnya naik hingga 100%. Mereka demo
karena dinilai sosialisasinya juga kurang dari pemda untuk pemberlakukan
perda baru ini," tuturnya.
Eka Sari mengatakan kalau mau ada perbaikan layanan angkutan umum
kepada rakyat kelas ekonomi yang memang dibutuhkan, haruslah dibantu ada
insentif. Perbaikan tidak hanya dari operator dan krunya, juga dari
regulator juga harus sama-sama memiliki standar pelayanan minimum (SPM)
dan sama-sama meningkatkan layanan kepada masyarakat serta ada
keberpihakan dalam hal pengadaan kendaraan dan perizinan yang harus
transparan.
"Angkutan illegal harus ditangkap dan dihilangkan karena mereka
mematikan dan tidak jelas operasionalnya, belum lagi uang muka pembelian
motor yang 30% itu ternyata diakali lagi, bahwa hanya 10% dari yang
dibeli dan 20% bisa pinjam," ucapnya.
Bagi Eka, pihaknya bukan tidak setuju memproduksi motor banyak tetapi
diatur agar tidak grid lock dan agar mobilitas untuk orang maupun barang
yang sangat dibutuhkan oleh negara yang punya cita-cita pertumbuhan
ekonomi 7%. "Ya harus kongrit pelaksanaannya karena kalau grid lock,
wah, kacau balau semua," tuturnya.
Menurutnya, sudah saatnya kendaraan umum mendapat insentif dari
pemerintah. Saat ini yang dapat insentif adalah kendaraan pribadi yang
daya angkutnya lebih sedikit, padahal jumlah penduduk mencapai 240 jiwa,
membutuhkan angkutan umum rakyat yang lebih banyak.
"Untuk mengurai kemacetan harus digunakan angkutan umum karena hampir
tidak ada negara di dunia yang mampu membangun infrastruktur secepat
kebutuhan mobilitas barang dan orang," tuturnya.
Eka mencontohkan uang muka untuk peremajaan angkutan kota malah lebih
mahal daripada beli kendaraan pribadi, padahal di negara maju tidak ada
hal seperti ini. (faa)
No comments:
Post a Comment