Monday, April 29, 2013



 Protes Publik Angkutan Jakarta

Bus? Bisa Berabe, Boss….

                Hey, sepeda motor itu tidak aman. Mulai dari selebritis, pekerja kantoran, sampai ustad, sampai meninggal dunia akibat kecelakaan sepeda motor. “Jangan naik motor lah, mengapa kalian tidak naik bus saja,” ujar seorang sahabat saya, pengusaha café di bilangan Kemang, Jakarta Selatan.
                “Bus? Bisa berabe, boss…,” ujar para karyawati café tersebut, sambil tertawa-tawa.
                Hari-hari biasa, sebenarnya beberapa café di Kemang baru tutup ketika jam menunjukkan pukul 22.00. Untuk waktu di wilayah Indonesia Kemang, jujur saja malam belum terlalu tua. Belum larut. Namun masihkah bus atau angkutan umum perkotaan melintas di Kemang pada jam itu? Hahaha, tentu tidak.
                Tidak heran bila para karyawati itu menolak mentah-mentah saran baik sahabat saya itu. Banyak orang baik seperti sahabat saya menyadari angkutan umum lebih aman dari sepeda motor. Namun mereka tidak menyadari bahwa jaringan atau trayek angkutan umum tidak lagi menggurita. Jam operasional angkutan umum juga sangat terbatas.
                Contoh kasus di Kemang ini, merupakan gambaran mengapa angkutan umum perkotaan di Jakarta makin ditinggalkan. Sederhana saja, angkutan umum perkotaan itu tidak mampu menjawab ekspektasi penggunanya.
                Ini belum kita bicara soal keamanan di dalam angkutan umum perkotaan saat larut malam. Tanggungjawab siapa soal keamanan? Menurut anda? Saya hanya ingin mengutip Pasal 5 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bahwa pemerintah bertanggung jawab penuh atas penyelenggaran angkutan umum.
                Kembali ke Kemang, keterbatasan angkutan umum perkotaan di kawasan itu sungguh malapetaka bagi bisnis di Kemang itu sendiri. Ketika kemacetan tidak lagi mampu diatasi, bagaimana bisnis dapat bertumbuh? Slot parkir mobil di Kemang, jujur saja makin berkurang. Lantas, bagaimana konsumen dapat hadir?
                Namun sebaliknya, layanan angkutan umum yang melintasi Kemang juga amat buruk. Sungguh, saya terheran-heran, mengapa misalnya tidak ada desain feeder Trans Jakarta dari Blok M menuju Kemang?
Padahal dapat saja, feeder Trans Jakarta itu melintas ulang alik antara Blok M (koridor Blok M-Kota) dengan halte Pejaten Village (koridor Ragunan-Setiabudi). Bila feeder melintas tiap 15 menit, tidakkah siapa pun dapat ke Kemang naik angkutan umum? Sungguh saya tak habis mengerti. 
                 Kemang hanyalah satu contoh. Kini, akibat melemahnya penetrasi angkutan umum perkotaan, masyarakat di Jakarta makin mantap menggunakan kendaraan pribadi. Saya menegaskan, hal itu tidak boleh terjadi. Dengan kecenderungan kota yang makin “membengkak”, jelas kota akan menjadi neraka bagi kita seandainya tiap penduduk menaiki kendaraan pribadi mereka masing-masing.
                Sebab jelas, takkan ada cukup ruang jalan di perkotaan untuk mengakomidir seluruh kendaraan pribadi yang dimiliki oleh penduduk kota. Mau dibangun jalan non tol bertingkat lima pun, menurut anda apakah masih mampu melayani keinginan warga? Lagipula, kota betonkah yang anda ingin tinggali?
                Terlebih kini, begitu mudah pembelian kendaraan pribadi. Kredit kendaraan bermotor juga begitu murah. Lucunya, terkadang lebih mudah membeli sepeda motor dengan fasilitas kredit misalnya daripada pembelian kontan. 
                Sebenarnya tidak masalah bila kendaraan pribadi terus dijual. Namun, demi kebaikan kita semua, cobalah untuk diselaraskan dengan penggunaan lahan. Aturlah penggunaan kendaraan pribadi sesuai dengan lahan yang tersedia. 
                Sebab faktanya, justru insentif bagi angkutan umum perkotaan nyaris tidak ada. Diperburuk dengan harga bahan bakar bermotor yang sangat murah sehingga sulit bersaing dengan sepeda motor. Dengan harga premium bersubsidi Rp 4.500 per liter, coba anda bayangkan bagaimana menetapkan tarif angkutan umum perkotaan?
                Dengan harga premium “hanya” Rp 4.500, tanpa disadari juga menyebabkan sangat sedikit infrastruktur dibangun untuk warga Jakarta. Korelasinya, sangatlah jelas. Anda seharusnya paham bahwa dana subsidi merampas dana yang seharusnya dapat untuk membangun terminal hingga merevitalisasi angkutan umum.   
                Bila dana subsidi sebesar Rp 200-an triliun per tahun itu dihemat, Jakarta dapat membangun halte Trans Jakarta dengan AC—sehingga warga tertarik naik Trans Jakarta. Atau, menambah pendingin ruangan pada tiap mikrolet yang beroperasi. 
                Dengan kemacetan parah, saya harap akhirnya anda mampu merenungkan, lebih baik memperjuangkan mobilitas penduduk kota, atau mobilitas kendaraan saja. Anda harus renungkan hal itu, jangan sekedar menelan bulat-bulat kata-kata saya, supaya lebih banyak orang memikirkan masa depan angkutan umum perkotaan, demi masa depan kita semua.
Saya juga ingin lebih banyak pejuang-pejuang muda yang tampil untuk memikirkan masa depan angkutan umum di Jakarta. Tentu, kita semua tidak senang terjebak kemacetan selama berjam-jam di Jakarta bukan? Pikirkanlah betapa anda kehilangan waktu berhargamu.
                Namun bolehlah anda menelan kata-kata saya bahwa: tanpa keberpihakan terhadap angkutan umum perkotaan, juga angkutan umum barang, bermimpilah kita untuk menjadi negara terkuat nomor 7 pada tahun 2025.
                                 

Eka Sari Lorena
Ketua Umum Organda

No comments:

Post a Comment