Tuesday, December 11, 2012

Transportasi Massal Berbasis Rel Haruskah Mencontoh Malaysia?


relKATA kunci orang mau menggunakan transportasi massal adalah bila sistem transportasinya modern, bersih dan memiliki keteraturan waktu. Hal itu semua tergambar dalam sistem transportasi Malaysia yang berbasis rel seperti monorail, KTM maupun LRT, serta bis umum. Jadi, mengapa tak mencontoh sistem tranportasi Malaysia?

Sebagai Ibukota Negara, Kuala Lumpur memang belum mampu menghilangkan kemacetan secara keseluruhan seperti halnya Singapura. Namun, kemacetan di sana sangat masuk akal karena hanya terjadi sebelum dan setelah jam kerja. Tidak demikian halnya di Jakarta karena kemacetan sudah dirasakan mulai pukul 06:00 hingga  pukul 22:00 lebih.

Jumlah penduduk Jakarta memang jauh lebih besar ketimbang Kuala Lumpur. Siang hari, Jakarta dipadati sekitar 12 juta orang, dan malam hari hanya separohnya. Sedangkan jumlah penduduk  Kuala Lumpur jauh lebih sedikit, yakni sekitar  2 juta  pada siang hari, dan 1 juta  malam harinya.

Namun demikian, jumlah penduduk bukan alasan untuk membangun sistem transportasi massal yang modern.  Wartawan Pos Kota di Kuala Lumpur,  Ballian Siregar, mencoba melukiskan sistem transportasi Malaysia yang berbasis transportasi umum, yakni LRT (Light Rail Transit), KTM (seperti halnya KRL AC/Ekonomi) maupun monorail, dan bis umum.

Jalur transportasi massa di Kuala Lumpur dibangun terintegrasi dengan pusat-pusat keramaian, atau yang disebut  “Golden Triangle” (pusat bisnis, belanja, dan hiburan yang dimulai dari KL Sentral – Bukit Bintang – hingga Titi Wangsa). Rute KL Monorail misalnya, mampu  menjangkau tempat wisata, pusat belanja, bisnis, dan hiburan.

Demikian juga halnya LRT maupun KTM atau bis umum yang terintegrasi satu dengan lainnya. Ada delapan jalur transportasi berbasis rel yang menghubungkan banyak tempat di Kuala Lumpur sehingga orang tidak lagi  memilih  mobil pribadi untuk mengantarnya ke tempat tertentu. Moda transportasi massal yang berbasis rel itu, mengurangi minat orang naik bis umum maupun mobil serta sepeda motor.

Jalur atau orang Malaysia menyebutnya laluan, bisa dengan nyaman naik LRT melalui  Laluan Seremban (jalur 1) dari Tanjung Malim ke Sungai Gadut yang  melewati setidaknya 28 stasiun. Demikian juga Laluan Pelabuhan Klang  akan membawa penumpang dari Batu Caves hingga Pelabuhan Klang yang melewati 27 stasiun. Atau dari Laluan Sri Petaling mulai dari Sentul Timur hingga Stasiun Ampang.

Kedelapan jalur tersebut  terintegrasi satu dengan lainnya, dan dihubungkan bis Rapid KL yang  bisa Anda gunakan dari dari halte-hal tersedia, sebab tidak boleh naik dan turun di sembarang tempat. Seperti halnya KTM, LRT atau monorail maupun bis, Anda cukup datang  membeli tiket di konter atau melalui mesin.

Umumnya, transaksi tiket (token) dilakukan melalui mesin. Biaya sekali tujuan tergantung jauh dekatnya, tetapi tidak lebih dari 3 RM (Rp9 ribu). Pengembalian uang pun dilakukan melalui mesin, hingga kemudian Anda mendapat satu token yang  digunakan untuk membuka pintu masuk dan pintu keluar stasiun. Begitu juga bila  Anda ingin berpindah LRT atau monorail untuk tujuan lain.

Di sisi lain,  stasiun dikelola secara profesional.  Misalnya, tidak ada pedagang asongan seperti yang sering kita jumpai di stasiun-stasiun kereta api di Jakarta. Juga tidak ada yang merokok sembarangan, serta stasiun yang kebersihannya tetap terjaga.

Ruang atau space dalam stasiun pun menjadi medium bagi perusahaan untuk mempromosikan produknya melalui iklan, seperti Samsung yang iklannya terlihat di setiap stasiun.

Kenyamanan dan kebersihan stasiun membuat orang tak merasa risih berada di sana. Apalagi keteraturan moda transportasi datang secara priodik, yakni tak lebih dari setiap 15 menit. Jam operasionalnya mulai dari pukul 06:00 hingga pukul 00:00 waktu setempat. Jika kondisi seperti di Kuala Lumpur ada di Jakarta, orang yang hendak bepergian kemungkinan memilih transportasi massal yang nyaman, bukan dengan mobil pribadi.* (sumber: postkotanews.com).

No comments:

Post a Comment