Prof. Putu Alit S - Udayana
Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik RI, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia Tahun
2013 sebanyak 104.118.969 unit yang didominasi oleh sepeda motor sebanyak
84.732.652 unit (atau 81,38%). Tingkat pertumbuhan kendaraan bermotor di
Indonesia selama kurun waktu 5 tahun terakhir sebesar 11% per tahun. Rasio kepemilikan
kendaraan bermotor per rumah tangga di daerah perkotaan mencapai 1:4 (satu rumah
tangga rata-rata memiliki empat kendaraan). Peningkatan pertumbuhan jumlah kendaraan
bermotor tentunya diikuti dengan peningkatan konsumsi energy beserta output
negatifnya yaitu polusi.
Sebagaimana
diberitakan dalam Tribunnews (13/9/2014) disebutkan bahwa menurut Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Surono, ketergantungan energi fosil masih didominasi oleh
kebutuhan minyak yang mencapai 41,8 persen, disusul batu bara 29 persen dan gas
23 persen. Kebutuhan yang sangat besar ini ternyata tidak bisa ditopang oleh
cadangan energi di Indonesia yang kian menipis. Cadangan minyak misalnya, hanya
cukup untuk 23 tahun lagi. Sementara cadangan gas masih cukup sampai 50 tahun
ke depan dan batu bara cukup untuk 80 tahun mendatang.
Penggunaan energy kita cukup tinggi dan
ratusan triliun dana menguap
karena dipakai sebagai subsidi BBM. APBN-P 2014 menetapkan belanja subsidi BBM
Rp 246,5triliun atau 13,13 persen dari total belanja Negara sebesar Rp 1.876,9
triliun.
Masyarakat
perkotaan kian tergantung pada penggunaan kendaraan pribadi untuk mendukung mobilitasnya
yang oleh Prof. Newman and Kenworthy, disebutkan sebagai kota yang menuju menjadi
Automobile City. Pada kota seperti ini,
penggunaan kendaraan bermotor tidak lagi merupakan “Pilihan” tetapi
“Kebutuhan”.
Terjadi
desentralisasi di wilayah perkotaan membentuk permukiman dengan kepadatan rendah
di daerah pinggiran kota. Kota kian meluas dari Kota Kecil berkembang menjadi
Kota Besar, lalu menjadi Kota Metropolitan dan seterusnya. Banyak kota tidak siap
untuk berkembang dan proses aglomerasi terjadi secara alamiah dengan wilayah di
sekitarnya, sehingga mulai terbentuk kota-kota Metropolitan baru. Sekat-sekat otonomi
daerah membatasi perkembangan sarana dan prasarana transportasi. Setiap daerah lebih
mementingkan tujuan ekonomi secara individual dan melupakan esensi dari konsep pembangunan
berkelanjutan. Pembangunan di setiap daerah selalu diorientasikan untuk meningkatkan
perekonomian secepatnya. Investasi secara membabibuta dilegalkan untuk atas nama
peningkatan ekonomi masyarakat. Degradasi lingkungan dan sosial-budaya terjadi secara
perlahan seiring dengan pesatnya peningkatan perekonomian. Daerah perkotaan berkembang
secara alamiah dengan struktur kota yang dituju tidak jelas. Sarana dan prasarana
transportasi dirancang dan dibangun sangat terbatas dan tidak mampu mengikuti perkembangan
demand yang pesat.
Sebuah
Kota Yang Berkelanjutan (Sustainable City)
harus secara konstan dan konsisten menggabungkan rancangan fisik dan lingkungannya.
Biaya lingkungan adalah real cost dimana
degradasi lingkungan dalam bentuk penurunan kualitas udara, kualitas kehidupan kota,
dan landscapenya akan menyebabkan suatu
kota menjadi tempat yang tidak menarik untuk ditempati ataupun dikunjungi.
Sebenarnya
kota-kota di dunia menyadari kebutuhan untuk mengikuti agenda-agenda
pembangunan berkelanjutan. Siapakah yang akan melakukan pekerjaan untuk mencapai
Kota Yang Berkelanjutan tersebut? Beberapa target indicator bagi Kota yang
Berkelanjutan diantaranya: Penurunan penggunaan energi per kapita, penurunan
total polusi udara per kapita (terutamagreen
house gases), penurunan tingkat kebisingan lalulintas (jumlah rumah tangga
yang terkena dampak), penurunan penggunaan air per kapita, peningkatan areal
hijau, peningkatan jumlah lokasi zona yang terintegrasi dengan angkutan umum (transit-oriented location), penurunan penggunaan
kendaraan bermotor per kapita, peningkatan penggunaan angkutan umum, pejalan
kaki dan bersepeda, penurunan jumlah kecelakaan per 1000 penduduk, dan lainnya.
Menurut
Prof Newman and Kenworthy, implementasi dari konsep Sustainability sebenarnya merupakan
tugas yang menantang sekaligus juga mengkhawatirkan. Sebagai tugas yang menantang
karena konsep tersebut memberikan kita tugas yang jelas bagaimana seharusnya kita
mengelola kota kita. Sebagai tugas yang mengkhawatirkan karena terjadi atau tidaknya
perubahan sangat tergantung pada kita sebagai generasi sekarang untuk mampu membalikkan
kecenderungan kota untuk menuju kearah Kota yang Berkelanjutan (Sustainable City).
Success Story dari implementasi BRT di Bogota dan
Curitiba tidak terlepas dari peranan pimpinan daerahnya. Seorang Pimpinan
Daerah harus paham kondisi kotanya saat ini dan paham ke arah mana perubahan
yang akan dilakukan. Kota baru dikatakan berubah ke arah yang lebih baik apabila
dapat memenuhi kriteria indicator Kota yang Berkelanjutan, dimana untuk pembangunan
di bidang transportasi mengikuti konsep Environmentally
Sustainable Transportation (EST).Konsep
EST telah lama diwacanakan yaitu antara lain pada Kyoto Protocol (United
Nations, 1998). OECD (1996) bahkan telah menetapkan kriteria indicator
pencapaian EST untuk target tahun 2030. Dalam Perpres No. 61 Tahun 2011 tentang
Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK), disebutkan bahwa
Indonesia memiliki komitmen untuk mengurangi emisi GRK sebesar 26% pada tahun
2020. Khusus untuk sector transportasi, direncanakan akan mengurangi sebesar
0,038 Giga Ton emisi CO2.
Pembangunan
transportasi di perkotaan ditandai dengan terjadinya desentralisasi yang
diikuti kian tergantungnya pada penggunaan kendaraan bermotor, pembangunan jalan
secara terus menerus, dan kian menurunnya penggunaan angkutan umum. Semua
proses ini telah mengarahkan kota menuju ke kota yang tidak berkelanjutan (Un-Sustainabe City).
Sejak
mulai ramai diwacanakan di tahun 1990-an, bila kita lihat perkembangan kota-kota
di Indonesia secara umum, maka kita masih jauh dari pencapaian target-target
EST. Kota-kota di Indonesia berkembang kearah sebaliknya yaitu Un-Sustainable City. Sebagai contoh sederhana
adalah kian tingginya konsumsi energy kita akibat kian tingginya tingkat ketergantungan
pada penggunaan kendaraan bermotor pribadi. Kita juga tahu bahwa secara teoritis
pengurangan konsumsi energy dapat dilakukan melalui demand management diantaranya dengan memindahkan sebagian pengguna kendaraan
pribadi ke angkutan umum. Kita juga semua sudah tahu bahwa kondisi angkutan umum
di perkotaan di Indonesia sejak tahun 2000-an sebagian besar dalam kondisi kian
terpuruk. Yang kita belum rasakan adalah langkah nyata dari pemerintah untuk memperbaikinya
sampai sekarang. Bahkan UU No. 22 Tahun 2009 pun telah menyiratkan bahwa pemerintah
bertanggungjawab terhadap ketersediaan angkutan umum. Perhatian pemerintah sudah
mulai ada, namun masih sangat kecil dirasakan terutama di daerah. Yang
diperlukan adalah langkah cepat dan radikal (tentunya dengan konsekuensi kebutuhan
anggaran yang besar) untuk melakukan perubahan.