Rabu, 15 Mei 2013 | 11:08 WIB
BANAR FIL ARDHI
Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar.
JAKARTA, KOMPAS.com - Pembengkakan
anggaran subsidi bahan bakar minyak berikut kompensasi kebijakan
kenaikan harga BBM tahun ini memerlukan tambahan utang Rp 50 triliun -
Rp 60 triliun. Dengan demikian, total utang pemerintah mencapai Rp 213
triliun.
”Harus disadari dan dipahami bahwa selama ini subsidi
bahan bakar minyak (BBM) dibiayai utang. Apakah betul kita membebani
utang untuk saat ini dan masa depan untuk suatu pengeluaran yang pada
hakikatnya adalah persoalan tersendiri,” kata Wakil Menteri Keuangan II
Mahendra Siregar menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta, Selasa
(14/5/2013).
Penarikan utang oleh pemerintah, Mahendra
mengingatkan, selain menimbulkan kewajiban pembayaran pokok berikut
bunga, memiliki ambang batas. Utang yang terlalu banyak menyebabkan
bunga dipatok tinggi karena kreditor menganggap pemerintah kurang
disiplin mengendalikan anggaran negara.
Rencana pemerintah
menaikkan harga solar menjadi Rp 5.500 per liter dan harga Premium
menjadi Rp 6.500 per liter tidak cukup menghemat anggaran. Sifatnya
hanya mengerem pembengkakan subsidi BBM.
Jika harga solar
ataupun Premium tetap Rp 4.500 per liter, sedangkan harga
keekonomiannya adalah Rp 10.000 per liter, maka subsidi BBM akan
menggelembung menjadi Rp 297,7 triliun atau melonjak 54 persen dari pagu
awal Rp 193,8 triliun.
Implikasinya, defisit anggaran akan
melebar, dari target semula Rp 153,3 triliun atau 1,65 persen dari
produk domestik bruto (PDB) menjadi Rp 353,6 triliun atau 3,83 persen
dari PDB. Sementara ambang batas maksimal adalah 3 persen.
Mahendra
optimistis, kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi antara lain akan
menguatkan nilai tukar rupiah. Saat ini nilai tukar rupiah melemah.
Rata-rata Rp 9.600-Rp 9.700 per dollar AS. Padahal asumsi nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) 2013 adalah Rp 9.300.
Menteri Koordinator Perekonomian
Hatta Rajasa menyatakan, kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi akan
menimbulkan tambahan inflasi 1,5-1,6 persen. Dengan demikian, asumsi
inflasi yang awalnya ditargetkan 4,9 persen akan direvisi menjadi
6,9-7,2 persen.
Antisipasi pemerintah untuk mengendalikan
inflasi, kata Hatta, pertama-tama lewat pengendalian inflasi pada bahan
pangan. Apalagi pada Juli-Agustus bertepatan dengan bulan puasa dan
Lebaran sehingga inflasi akibat harga pangan pasti melonjak.
Pemerintah,
ujar Hatta, akan mengintervensi pasar untuk daging sapi. Harga beras
bisa dijamin mengingat stok beras Bulog adalah 2,69 juta ton.
”Cabe
kadang-kadang menjelang Lebaran dan puasa naik, tapi yang lain harus
kita stabilkan terutama ayam, telur, daging, dan beras. Tujuannya agar
nanti pada saat dilakukan penyesuaian harga BBM, inflasi tambahannya
1,5-1,6 persen,” kata Hatta.
Pemerintah, menurut Hatta, juga akan
mengoreksi pertumbuhan ekonomi dari target awal 6,8 persen menjadi
6,2-6,4 persen. Sementara defisit dipatok di bawah 2,5 persen dari PDB.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa (14/5), saat membuka rapat kabinet
terbatas di Kantor Presiden, menekankan pentingnya APBN-P 2013, guna
mengatasi masalah perekonomian saat ini. Keberadaan APBN-P 2013 juga
penting bagi pencapaian target-target Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2014.
”APBN Perubahan (2013)
sangat penting karena akan mengatasi permasalahan ekonomi tahun ini, dan
sekaligus upaya untuk menjaga pertumbuhan, mengendalikan inflasi,
menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi kemiskinan. Namun, tahun 2014
adalah tahun terakhir masa bakti pemerintahan ini. Mari pastikan
sasaran RPJMN lima tahunan akan diprioritaskan pencapaiannya melalui RKP
(Rencana Kerja Pemerintah) 2014,” kata Presiden. (WHY/LAS/FAJ)
Editor :
Erlangga Djumena