Protes Publik Angkutan Jakarta
Bus? Bisa Berabe, Boss….
Hey, sepeda motor itu tidak aman. Mulai
dari selebritis, pekerja kantoran, sampai ustad, sampai meninggal dunia akibat
kecelakaan sepeda motor. “Jangan naik motor lah, mengapa kalian tidak naik bus
saja,” ujar seorang sahabat saya, pengusaha café di bilangan Kemang, Jakarta
Selatan.
“Bus?
Bisa berabe, boss…,” ujar para karyawati café tersebut, sambil tertawa-tawa.
Hari-hari
biasa, sebenarnya beberapa café di Kemang baru tutup ketika jam menunjukkan
pukul 22.00. Untuk waktu di wilayah Indonesia Kemang, jujur saja malam belum
terlalu tua. Belum larut. Namun masihkah bus atau angkutan umum perkotaan melintas
di Kemang pada jam itu? Hahaha, tentu tidak.
Tidak
heran bila para karyawati itu menolak mentah-mentah saran baik sahabat saya
itu. Banyak orang baik seperti sahabat saya menyadari angkutan umum lebih aman
dari sepeda motor. Namun mereka tidak menyadari bahwa jaringan atau trayek
angkutan umum tidak lagi menggurita. Jam operasional angkutan umum juga sangat
terbatas.
Contoh
kasus di Kemang ini, merupakan gambaran mengapa angkutan umum perkotaan di
Jakarta makin ditinggalkan. Sederhana saja, angkutan umum perkotaan itu tidak
mampu menjawab ekspektasi penggunanya.
Ini
belum kita bicara soal keamanan di dalam angkutan umum perkotaan saat larut
malam. Tanggungjawab siapa soal keamanan? Menurut anda? Saya hanya ingin
mengutip Pasal 5 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, bahwa pemerintah
bertanggung
jawab penuh atas penyelenggaran angkutan umum.
Kembali
ke Kemang, keterbatasan angkutan umum perkotaan di kawasan itu sungguh malapetaka
bagi bisnis di Kemang itu sendiri. Ketika kemacetan tidak lagi mampu diatasi,
bagaimana bisnis dapat bertumbuh? Slot parkir mobil di Kemang, jujur saja makin
berkurang. Lantas, bagaimana konsumen dapat hadir?
Namun
sebaliknya, layanan angkutan umum yang melintasi Kemang juga amat buruk.
Sungguh, saya terheran-heran, mengapa misalnya tidak ada desain feeder Trans Jakarta dari Blok M menuju
Kemang?
Padahal dapat saja, feeder Trans
Jakarta itu melintas ulang alik antara Blok M (koridor Blok M-Kota) dengan
halte Pejaten Village (koridor Ragunan-Setiabudi). Bila feeder melintas tiap 15
menit, tidakkah siapa pun dapat ke Kemang naik angkutan umum? Sungguh saya tak
habis mengerti.
Kemang hanyalah satu contoh. Kini, akibat
melemahnya penetrasi angkutan umum perkotaan, masyarakat di Jakarta makin
mantap menggunakan kendaraan pribadi. Saya menegaskan, hal itu tidak boleh
terjadi. Dengan kecenderungan kota yang makin “membengkak”, jelas kota akan
menjadi neraka bagi kita seandainya tiap penduduk menaiki kendaraan pribadi
mereka masing-masing.
Sebab
jelas, takkan ada cukup ruang jalan di perkotaan untuk mengakomidir seluruh
kendaraan pribadi yang dimiliki oleh penduduk kota. Mau dibangun jalan non tol
bertingkat lima pun, menurut anda apakah masih mampu melayani keinginan warga? Lagipula,
kota betonkah yang anda ingin tinggali?
Terlebih
kini, begitu mudah pembelian kendaraan pribadi. Kredit kendaraan bermotor juga
begitu murah. Lucunya, terkadang lebih mudah membeli sepeda motor dengan
fasilitas kredit misalnya daripada pembelian kontan.
Sebenarnya
tidak masalah bila kendaraan pribadi terus dijual. Namun, demi kebaikan kita
semua, cobalah untuk diselaraskan dengan penggunaan lahan. Aturlah penggunaan kendaraan
pribadi sesuai dengan lahan yang tersedia.
Sebab
faktanya, justru insentif bagi angkutan umum perkotaan nyaris tidak ada.
Diperburuk dengan harga bahan bakar bermotor yang sangat murah sehingga sulit
bersaing dengan sepeda motor. Dengan harga premium bersubsidi Rp 4.500 per
liter, coba anda bayangkan bagaimana menetapkan tarif angkutan umum perkotaan?
Dengan
harga premium “hanya” Rp 4.500, tanpa disadari juga menyebabkan sangat sedikit
infrastruktur dibangun untuk warga Jakarta. Korelasinya, sangatlah jelas. Anda
seharusnya paham bahwa dana subsidi merampas dana yang seharusnya dapat untuk
membangun terminal hingga merevitalisasi angkutan umum.
Bila
dana subsidi sebesar Rp 200-an triliun per tahun itu dihemat, Jakarta dapat
membangun halte Trans Jakarta dengan AC—sehingga warga tertarik naik Trans
Jakarta. Atau, menambah pendingin ruangan pada tiap mikrolet yang
beroperasi.
Dengan
kemacetan parah, saya harap akhirnya anda mampu merenungkan, lebih baik
memperjuangkan mobilitas penduduk kota, atau mobilitas kendaraan saja. Anda
harus renungkan hal itu, jangan sekedar menelan bulat-bulat kata-kata saya,
supaya lebih banyak orang memikirkan masa depan angkutan umum perkotaan, demi
masa depan kita semua.
Saya juga ingin lebih banyak
pejuang-pejuang muda yang tampil untuk memikirkan masa depan angkutan umum di
Jakarta. Tentu, kita semua tidak senang terjebak kemacetan selama berjam-jam di
Jakarta bukan? Pikirkanlah betapa anda kehilangan waktu berhargamu.
Namun
bolehlah anda menelan kata-kata saya bahwa: tanpa keberpihakan terhadap
angkutan umum perkotaan, juga angkutan umum barang, bermimpilah kita untuk
menjadi negara terkuat nomor 7 pada tahun 2025.
Eka Sari Lorena
Ketua Umum Organda